Merupakan sebuah frase dikotomis, jika kelanjutannya ditelaah lebih dalam. Di satu sisi positif, sebagai bahan pembelajaran, sisi lainnya negatif, jika akhirnya terjebak.
Tahun
2011, penulis sedang menyusun kerangka tugas akhir, ketika buku biografi Jim
Morrison (vokalis The Doors), No One Here
Gets Out Alive (1980) karya Jerry Hopkins dan Danny Sugerman, mempertemukan
penulis pada teori Apollonian-Dionysian Friedrich Nietzsche. Entah sudah berapa
kali penulis mengangkat hal ini, tetapi pada kenyataannya, buku pertama
Nietzsche, Die Geburt der Tragodie aus
dem Geistes der Musik (1872) yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan
menjadi The Birth of Tragedy Out of the
Spirit of Music, telah membawa penulis pada kehidupan kontemplatif yang
sebagian besar diisi oleh tiga hal, keseimbangan, kejayaan masa lalu, dan
keinginan untuk berkuasa.
Keseimbangan
Apollonian-Dionysian yang penulis tangkap dalam buku The Birth of Tragedy karya Friedrich Nietzsche, bisa dikatakan sebagai
dasar kontemplasi mengenai baik dan buruk, structured
and chaotic, sadar dan tidak sadar, serta hal-hal dikotomis lainnya yang
kemudian mempengaruhi cara pandang penulis terhadap segala hal yang terjadi di
sekitar penulis.
"Fenomena yang terjadi di dunia musik lokal dimana musik era 60-70an yang di-”daur ulang” seolah sedang menjadi tren."
Rasa
kagum pada kejayaan masa lalu, seperti halnya Jim Morrison yang memunculkannya
secara eksplisit melalui unsur visual berskala kecil berupa potongan rambut
(Jim Morrison meminta gaya rambut Aleksander Agung kepada penata rambutnya),
sementara penulis menyalurkannya pada hal-hal yang bersifat kekayaan
intelektual untuk kemudian diaplikasikan sebagai bahan dasar pembentuk
kebijaksanaan diri. Baiklah, pembahasan ini sudah mulai membosankan (mungkin),
mari menyederhanakan tulisan ini dengan melihat fenomena yang terjadi di dunia
musik lokal dimana musik era 60-70an yang di-”daur ulang” seolah sedang menjadi
tren.
Led
Zeppelin, Black Sabbath, Pink Floyd, dan sederet nama besar lainnya kemudian
dipadu padankan dengan grup musik ataupun pergerakan-pergerakan yang muncul
sekitar satu atau dua dekade setelahnya, yang (mungkin) terangkum dalam sebuah
film dokumenter berjudul Such Hawks Such
Hounds (2008), nampaknya telah menghasilkan sebuah fenomena yang dalam
benak penulis terlihat seperti fenomena 9gag
dimana media tersebut nyaris mampu membentuk sebuah selera humor yang universal. Tentunya, bukan berarti
pengaruh musik Barat era 60-70an itu merupakan sebuah lelucon, tetapi penulis
merasa tertarik melihat bagaimana proses selera musik (yang saat ini nampak) universal perlahan bisa terbentuk. Peran
internet bisa jadi merupakan faktor utama, namun bukankah selera musik itu
urusan pribadi manusia dan beberapa “petunjuk” yang diberikan oleh Tuhan? Tanpa mengesampingkan jenis musik lain,
fenomena “kembali ke masa lalu” ini sungguh menarik untuk disimak mengingat
musik merupakan salah satu ketertarikan penulis yang paling besar.
Terlepas
dari fenomena yang telah disebutkan di atas, pada akhirnya masing-masing
manusia memiliki ketertarikan, kepercayaan, dan tujuan yang berbeda-beda, namun
ada satu hal yang bisa jadi ataupun mungkin (sudah pasti) universal, yaitu keinginan untuk melakukan sesuatu, keinginan yang
membuat manusia terus hidup betapa pun sengsaranya kehidupan, will to survive, bentukan sederhana dan
mendasar dari will to power.
Akhir kata,
mengutip pernyataan dari seorang kawan, Haikal Azizi bin Idris, ketika pertama
kali penulis melontarkan ajakan untuk membentuk sebuah grup musik pada tahun
2008 silam, “Gua mau ngeband tapi gua
pengen jadi pusat di band,” jika dikaitkan lagi dengan pemikiran Nietzsche,
maka pernyataan tersebut merupakan sebuah kehendak untuk berkuasa, will to power, ciri manusia unggul. Di
satu sisi positif, berupa motivasi dan kepercayaan diri, di sisi lain ambigu, berupa
keinginan berkuasa, kuasa yang arif atau arogan? Itu pilihan pribadi, yang lagi-lagi
dikotomis.
About Author:
Bob Edrian Triadi (@bobedriantriadi)
Lahir
di Bandung, 13 Mei 1988. Menyelesaikan studi di Studio Seni Grafis, Fakultas
Seni Rupa dan Desain ITB pada tahun 2012. Bermusik di Jimi Gimme (2008-2010),
Loud (berganti nama menjadi Sigmun, 2008-2010), The Black and Dangerous
(2010-2012), Diopollo (2012-sekarang), dan Gaung (2012-sekarang). Saat ini
bekerja sebagai desainer grafis.
No comments:
Post a Comment